DARŚANA
(AJARAN DHARSANA DALAM AGAMA HINDU)
4.1. PENGERTIAN DARŚANA
Kata Darsana berasal dari urat kata
“DARS” yang artinya ‘melihat’,
menjadi kata darsana (kata benda)
artinya ‘penglihatan
atau pandangan’.
è DARSANA dalam hubungan ini berarti ‘pandangan tentang kebenaran’ (filsafat).
Nama atau istilah lainnya adalah :
- Tattva. Kata ini berasal dari kata “tat” yang artinya ‘itu’ yang dimaksud adalah ‘hakekat
atau kebenaran’.
- Mànanasàstra. Kata ini berarti ‘pemikiran, perencanaan,
pertimbangan atau renungan’ yang dimaksud adalah pemikiran atau renungan
filsafat.
- Vicàrasàstra. Kata ini berarti ‘pertimbangan, renungan,
penyelidikan, dan keragu-raguan’ yang dimaksud adalah menyelidiki tentang
‘kebenaran filsafat’.
- Tàrka artinya spekulasi. Tàrkika berarti orang yang ahli
filsafat.
- Sraddhà,
kata ini berarti keyakinan atau keimanan.
4.2.
SISTEM FILSAFAT HINDU
Darsana atau filsafat India
dibedakan atas dua kelompok, yaitu:
- Pandangan
yang orthodox, (ASTIKA)
ð Kelompok ini mengakui
otoritas dan kemutlakan kitab suci Veda sebagai sabda Tuhan Yang Maha Esa
yang merupakan sumber ajarannya.
Kelompok ini terdiri dari:
Kelompok ini terdiri dari:
1. Sàmkhya,
-
SAD DARSANA - Mìmàmsa,
- Vaisesika,
- Nyàya, dan
- Vedànta.
- Pandangan
yang heterodox, ( NÀSTIKA
)
ð Filsafat ini tidak mengakui kebenaran dan kewenangan
Veda, terdiri dari 3 aliran filsafat, yaitu:
1. Càrvàka,
- Buddha, dan
- Jaina.
Ajaran
atau benih-benih filsafat India sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Veda (1500 - 600 sebelum Masehi) pada saat
kitab-kitab Mantra Samhità disusun. Perkembangan lebih jelas terlihat ketika
kitab-kitab Upaniûad disusun sekitar tahun 800 - 300 sebelum Masehi, tidak jauh
dengan masa tersebut disusun pula kitab-kitab vìracarita (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata
juga puràna).
Ø Bagaimanakah hubungan antara Veda
dengan Darsana?
Veda adalah sabda Brahman, wahyu Tuhan Yang Maha
Esa yang menjadi sumber ajaran agama Hindu sedang darsana adalah pandangan Mahàrsi atau para ahli tentang kebenaran
ajaran Veda dan alam semesta. Darsana (Astika) menjadikan Veda sebagai sumber kajian.
Ø Tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung
dalam kitab suci. Dengan mempelajari Darsana akan lebih mudah mempelajari kitab suci.
Darsana memberikan pencerahan (kejernihan) bagi umat dalam memahami serta
mengamalkan ajaran agamanya.
4.3. SAD
DARŚANA
Berikut kami sampaikan pokok-pokok
ajaran Sad
Darsana
yang memberikan rona yang mewarnai dan memberikan pencerahan terhadap ajaran
Agama Hindu:
1) Sàmkhya
Menurut
tradisi, pembangun ajaran ini bernama Mahàrsi
Kàpila, yang menulis Sàmkhyasùtra. Di dalam Bhagavatapuràna disebutkan nama Mahàrsi Kàpila, putra Devahùtì sebagai
pembangun ajaran Sàmkhya yang sifatnya theistic.
Ajaran
Sàmkhya dan Yoga besar pengaruhnya terhadap ajaran agama Hindu di Indonesia.
Kitab-kitab tattwa seperti :
-Wrhaspatitattwa,
-Tattwajñàna,
-Gaóapatitattwa
Ø Ajaran Sàmkhya sebenarnya sudah tua usianya, hal, ini dibuktikan bahwa
dalam kitab-kitab sruti (Mantra, Bràhmana, Àranyaka, Upaniûad, Smrti, Itihàsa dan Puràna) di dalamnya terkandung ajaran Sàmkhya.
Ø Kata Sàmkhya berarti
pemantulan yaitu pemantulan filsafati.
Adapula yang menyatakan bahwa Sàmkhya berarti kumpulan bilangan
-SAM =>
berkumpul,
-KHYA =>
bilangan.
Ø Ajaran Sàmkhya ini disebut bersifat realistis karena mengakui
realitas dunia ini yang bebas dari roh.
Ø Sàmkhya disebut “dualistis”
karena prinsip ajarannya ada dua realitas yang berdiri sendiri - sendiri,
saling bertentangan, tetapi dapat dipadukan, yaitu: purusa dan prakrti.
Ø Akhirnya Sàmkhya disebut “pluralistis”,
karena mengajarkan bahwa Puruna itu banyak sekali. Tentang kebenaran Tuhan Yang
Maha Esa tidak perlu dibuktikan lagi, karena itu pula ajarannya disebut “Nir-ìswara Sàmkhya”.
2) Yoga
Ø Adapun pembangun ajaran ini adalah Mahàrsi Patañjali.
Ø Maka Yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran
Veda. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin meningkatkan diri
di bidang kerohanian.
Ø Tulisan pertama tentang ajaran Yoga ini adalah kitab
Yogasùtra karya Mahàrsi Patañjali.
Kata Yoga sendiri berasal dari urat kata:
“YUJ”
yang artinya “berhubungan” .
ð yaitu bertemunya roh individu ( àtma atau puruna) dengan roh universal yang tidak
berperibadi (Mahàpuruna atau Paramàtman). Mahàrsi Patañjali mengartikan yoga sebagai
“cittavrttinirodha” yaitu penghentian geraknya pikiran.
Ø Seringkali filsafat Yoga disebut bersama-sama dengan
filsafat Sàmkhya (Sàmkhyayoga) karena memang filsafat yoga berhubungan
erat dengan Sàmkhya.
Yang
terpenting ialah pelaksanaan ajaran Yoga sebagai jalan memperoleh vivekajñàna,
ð yaitu pengetahuan untuk membedakan antara yang salah dan
yang benar sebagai kondisi untuk mencapai kelepasan.
Ø Ajaran merupakan praktik dari ajaran Sàmkhya dalam kehidupan nyata. Yoga
menerima ajaran tripramàna dan Sàmkhya, juga menerima 25
Tattwa Sàmkhya dengan menempatkan ìswara (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai
sumber Puruna dan Prakrti itu, walaupun hakekat Purusa sama dengan ìsvara. Karena menempatkan ìsvara sebagai sumber kedua prinsip di
atas, maka filsafat Yoga disebut bersifat theistic. Filsafat Yoga disebut juga
disebut Saìsvara Sàmkhya atau Sesvara Sàmkhya.
Ajaran
filsafat Sàmkhya, Yoga dan Vedànta sangat mempengaruhi kehidupan Agama Hindu
termasuk sangat besar pengaruhnya di Indonesia, khususnya Bali.
Rāja Yoga dikenal dengan nama Aṣṭāṅga-Yoga atau
Yoga dengan delapan anggota, yaitu:
1) Yama, (larangan),
2) Niyama (ketaatan),
3) Āsana (sikap badan),
4) Prāṇāyāma (pengendalian nafas),
5) Pratyāhāra (penarikan indriya),
6) Dhāraṇa (konsentrasi),
7) Dhyāna (meditasi), dan
8) Samādhi (keadaan
supra Ṣaḍar).
3) Mìmàmsa
Filsafat
Mìmàmsa
yang akan dibahas adalah Pùrwa Mìmàmsa. Pendiri ajaran ini adalah Mahàrsi Jaiminì
Ø Kata Mìmàmsa,
berarti penyelidikan yang sistematis yang pertama terhadap Veda.
Pùrwa Mìmàmsa secara khusus mengkaji bagian
Veda yakni kitab-kitab Bràhmana dan Kalpasùtra sedang bagian yang lain (Àranyaka dan Upanisad) dibahas oleh Uttarà Mìmàýsa yang
dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedànta. Pùrwa Mìmàýsa sering
disebut Karma Mìmàýsa sedang Uttarà Mìmàýsa disebut juga Jñàna Mìmàýsa.
. Sumber utama adalah keyakinan akan
kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab Veda (Bràhmaóa dan Kalpasùtra).
Sumber ajarannya tertulis dalam Jaiminìya-sùtra, karya Mahàrûi Jaiminì. Kitab
ini terdiri dari 12 Adhyàya (bab) terbagi ke dalam 60 “pàda” atau bagian.
Isinya adalah aturan atau tata cara upacara dalam (menurut Veda).
Ø Ajaran (Pùrwa ) Mìmàmsa disebut bersifat pluralistis dan realistis.
Pluralistis karena mengakui banyak jiwa, dan penggandaan asas badani
yang membenihi alam semesta,
Realistis mengakui obyek-obyek pengamatan adalah nyata.
Sebagai filsafat Mīmāmsā mencoba
menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang
mendasari keyakinan keagamaan Veda terdiri atas bermacam-macam unsur,
yaitu :
1) Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian
dan mengamati
hasil dari ritual di surga.
2) Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang
melestarikan dampak dari
ritual yang dilaksanakan.
3) Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua
tindakan yang kita
lakukan dalam hidup ini bukanlah suatu bentuk illusi.
4) Nyàya
Pendiri
ajaran ini adalah Mahàrsi Gautama
(Gotama)
yang menulis Nyàya-sùtra, terdiri
atas 5 adhyàya (bab) dan dibagi ke dalam 5 “pàda” atau bagian. Pada tahun ± 400
Masehi, kitab Nyàya-sùtra ini di komentari oleh Vàtsyàyana. Lama kemudian
muncul kitab Nyàya bernama Tàrka Saýgraha oleh Annam Bhaþþa dan kitab Siddhànta
Muktavadi oleh Viúvanàtha Pañcànana.
Ø Sistem Nyàya membicarakan
bagian umum filsafat dan metoda untuk mengadakan penelitian yang kritis.
Tiap ilmu sebenarnya suatu nyàya.
Kata nyàya artinya : ‘suatu penelitian yang
analitis dan kritis’.
Sistem ini barangkali timbul karena adanya pembicaraan dan
perdebatan di antara para ahli pikir dan mereka berusaha mencari arti yang
benar dari mantra-mantra Veda. Demikianlah, timbul patokan-patokan bagaimana
mengadakan penelitian yang benar. Sistem filsafat Nyàya sering juga disebut
Tàrkavàda atau ilmu berdebat.
Ajaran
filsafat Nyàya disebut bersifat realistik karena mengakui benda-benda sebagai
suatu kenyataan. Ajaran yang realistik ini mendasarkannya pada ilmu logika,
sistematis, kronologis dan analitis.
1) Vaisesika
Sistem
filsafat ini dipelopori oleh Mahàrsi Kaóàda,
ia bernama juga Ulùka.
Filsafat ini barangkali sedikit
lebih tua dari Nyàya. Sistem ini timbul pada abad ke 4 sebelum Masehi. Adapun
sebagai sumber ajarannya adalah Vaiúeûika-sùtra
Ø Tujuan pokok Vaisesika bersifat Metaphisis.
Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan
kesejahteraan di dalam dunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan.
6) Vedanta
Sistem
filsafat Vedànta juga disebut Uttarà
Mìmàýsa yaitu penyelidikan yang kedua karena sistem ini mengkaji bagian
Veda yang kedua yaitu Upanisad.
Ø Kata VEDÀNTA berarti
‘akhir dari Veda’ (Vedasya + Antah).
Sumber ajarannya adalah kitab-kitab Upanisad, tetapi mengingat kitab-kitab
Upanisad
ini tidak sistematis, maka Bàdaràyaóa yang disebut juga Mahàrsi Vyàsa menyusun kitab yang bernama
Vedàntasùtra.
Kitab ini dalam Bhagavadgìtà disebut
Brahmasùtra.
Kitab Vedàntasùtra ini terdiri dari
4 adhyàya (bab) dan masing-masing adhyàya terdiri dari beberapa pàda (bagian).
Tiap-tiap adhyàya dari :
-
Brahman adalah realitas tertinggi
(Bab 1),
-
mengkaji ajaran yang tidak sesuai
dengan Vedànta (Bab 2),
-
mengkaji ajaran moksa (Bab 3)
-
membahas pengetahuan tentang Brahman
(Bab 4).
Bila
mengkaji Bhagavadgìtà, maka jelaslah terdapat 3 ajaran Darsana yang sangat dominan di dalamnya,
yaitu: Sàmkhya, Yoga, dan Vedànta. Ketiga darsana ini berpengaruh di Indonesia,
seperti nampak dalam berbagai kitab Tattwa, Kakawin (seperti Arjuna Wiwàha,
Dharma-sùnya),
dan sebagainya.
Ø Karena Vedànta
sifat ajarannya adalah absolutisme dan
theistisme

Demikian
antara lain kitab-kitab yang dikelompokkan sebagai kitab Veda (Sruti) dan
kitab-kitab susastra Hindu yang di dalamnya termasuk kitab-kitab Itihàsa,
dharmaúàstra, àgama, tantra, dan darúana.
(Tidak
Mengakui Kewenangan Weda)
A. Carvaka
Filsafat
carwaka didirikan oleh Brhaspati
yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati sutra.
Ø
Sistem filsafat ini mengembangkan tradisi heterodok, atheisme
dan materialisme.
Sering disebut dengan
lokayata yang berarti berjalan dijalan keduniawian.
Kata carwaka sendiri berasal dari kata:
‘CARU’ yang berarti manis
dan
‘VAK’ yang berarti ujaran,
=> jadi carwaka berarti kata-kata
yang manis.
·
Carwaka mengajarkan tentang kenikmatan
indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup.
- Carwaka juga berarti
seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi,
- tidak mempercayai adanya
atman dan Tuhan, bentuk inilah yang menyebabkan ia sering dianggap sebagai
hedonisme timur.
Ø Pengetahuan yang valid hanya
didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan
indriya. Alam hanya terbentuk oleh 4 bhuta, elemen zat, yaitu : udara, api,
air, dan tanah. Tujuan tertinggi dari manusia rasional adalah mencapai kenikmatan
yang sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari penderitaan.
ü Adapun inti ajaran carwaka
adalah :
1.Tanah, air, api, dan udara adalah
elemen dari alam semesta.
2.Tubuh, indra, dan objek-objek merupakan hasil kombinasi dari berbagai elemen alam.
3.Kesadaran muncul dari material seperti sifat alkohol anggur yang muncul dari anggur yang dipermentasi.
4.Tidak ada roh, yang ada adalah tubuh yang sadar
5. Kepuasan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia.
6.Kematian adalah pembebasan.
2.Tubuh, indra, dan objek-objek merupakan hasil kombinasi dari berbagai elemen alam.
3.Kesadaran muncul dari material seperti sifat alkohol anggur yang muncul dari anggur yang dipermentasi.
4.Tidak ada roh, yang ada adalah tubuh yang sadar
5. Kepuasan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia.
6.Kematian adalah pembebasan.
B. Jaina
Filsafat jaina
merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual,
=> kata JAINA sendiri berarti ‘penakluk spiritual’.
Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi
2, yaitu :
1.APAROKSA
Ø pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal yang tidak nampak oleh
indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala (kemahatahuan).
2. PAROKSA
Ø pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan
perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)
ü Jaina menerima tiga jenis
pramana,
a. pratyaksa (persepsi),
b. anumana (inferensi), dan
c. sruta (otoritas).
ü Jaina
meyakini tentang adanya pluralisme roh, terdapat roh-roh
sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia, binatang, dan
tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh memiliki
kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam
pengetahuan yang terbatas.
ü Belenggu dapat dihilangkan dengan :
1)
Keyakinan yang sempurna terhadap ajaran
guru-guru jaina.
2)
Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
3)
Perilaku yang benar. Perilaku ini meliputi,
tidak menyakiti dan melukai seluruh mahluk hidup, menghindari kesalahan
mencuri, sensualitas, dan kemelekatan objek-objek indriya.
Dengan tiga hal tersebut maka perasaan akan dikendalikan,
dan karma yang membelenggu roh akan hilang, hingga roh mencapai kesempurnaan
alamiahnya yang tak terbatas. Jaina tidak mempercayai dengan adanya Tuhan, para
tirthangkara menggantikan tempatNya.
ü
Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :
1.Ahimsa (non kekerasan)
2.Satya (kebenaran)
3.Asteya (tidak mencuri)
4.Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
5.Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan).
1.Ahimsa (non kekerasan)
2.Satya (kebenaran)
3.Asteya (tidak mencuri)
4.Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
5.Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan).
C. Buddha
Filsafat
Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha
Gautama pada abad 567 sm,
ð ajarannya
bersifat Atheisme dan Spiritual.
Ø Buddha
menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta, dan
menolak otoritas Weda dan pelaksanaan yajna.
Ø Tujuan akhir perjalanan hidup
manusia adalah NIRWANA, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun
diperoleh melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta
Gautama meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :
1) Kebenaran bahwa ada penderitaan.
2) Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
3) Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
4) Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan
penderitaan.
ü Ajaran Buddha sering pula
disebut dengan ‘jalan tengah’
(madhyama marga),
ü ajaran-ajaran pokoknya
dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang
pengetahuan),
yang terdiri dari :
- Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi
masyarakat umum,
- Sutta pitaka yang membahas
upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika, dan
- Abhidhamma pitaka yang
berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha.
Kebenaran bahwa ada yang
menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan utama, yaitu :
1.pandangan yang benar (samyagdrsti)
2.Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
3.Perkataan yang benar (samyalgwak)
4.Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
5.Cara hidup yang benar (samyagajiva)
6.Usaha yang benar (samyagvyayama)
7.Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
8.Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)
2.Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
3.Perkataan yang benar (samyalgwak)
4.Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
5.Cara hidup yang benar (samyagajiva)
6.Usaha yang benar (samyagvyayama)
7.Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
8.Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)
Doktrin
Buddha tidak mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk
keykinan seperit hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana)
Usaha untuk
menyatukan ke enam sistem menjadi satu filsafat ortodoks klasik baru dilakukan
pada sekitar abad ke-9 dan abad ke-11. Nama keenam sistem filsafat dan
pendirinya adalah:
1.
Sistem Nyaya :
didirikan oleh Gautama
2.
Sistem Vaisesika : didirikan oleh Kanada
3.
Sistem Samkhya : dirumuskan oleh Kapila
4.
Sistem Yoga :
dirumuskan oleh Patanjali
5.
Sistem Purva-Mimamsa : dirumuskan oleh Jaimini
6.
Sistem Vedanta : dirumuskan oleh Vyasa
Keenam filsafat
ini biasanya dikelompokkan menjadi Tiga Pasangan Ganda .
Ø Pasangan pertama adalah Nyaya-Vaisesika;
Ø Pasangan kedua adalah Samkhya-Yoga;
Ø pasangan ketiga adalah Mimamsa-Vedanta.
Setiap pasangan
dianggap sebagai dua sisi mata uang. Setiap aspek berfungsi sebagai pelengkap
dan penguat bagi aspek lainnya. Jika keempat sistem pemikiran India lainnya (Samkhya,
Yoga, Mimamsa, & Vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam arti bahwa
mereka menjelaskan alama-semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh, sistem Nyaya-Veiseshika
mewakili tipe filsafat analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan
sains.
C. Mimamsa
Secara etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau penyelidikan. bagian
pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa
(Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari
satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua
sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda.
Kata Mimamsa, berarti
penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus
mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian
yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula
dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM
dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman
kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti :
Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta
yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700.
![]() |
CATUR ASRAMA

(Sumber: new.babadbali.com)
“Catur Asrama ngaranya
Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha,
Bhiksuka, Nahan tang Catur
Asrama ngaranya”
(Sīlakrama hal 8).
Terjemahan:
Yang bernama Catur Asrama
adalah Brahmacari, Grhastha,
Wanaprastha, dan Bhiksuka.
5.1. PENGERTIAN CATUR
ASRAMA
Catur Asrama Berasal
dari kata:
·
Catur : Empat
·
Asrama
: Tempat/ lapangan kerohanian
ð Catur Asrama adalah Empat
jenjang kehidupan berdasarkan atas tatanan kerohanian Hindu, waktu umur, dan
sifat prilaku manusia
1). Brahmacari, => waktu mengejar
ilmu pengetahuan;
2). Grehastha,=> membina rumah tangga yaitu kawin dan
melahirkan keturunan;
3). Wanaprasta, => persiapan
meningkatkan hidup kerohanian dan perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan
keduniawian.
4). Bhiksuka => lepas dari ikatan keduniawian ->
mengabdikan diri kepada ISWW
“Takitakining
sewakaguna widya
Smara wisaya rwangpuluh
ring ayusa
Tengahi tuwuh san wacana
gegen ta
Patilaring Atmeng tanu
paguruken”
(Kekawin Nitisastra V.1)
Artinya :
- Bersiap sedialah selalu mengabdipada ilmu
pengetahuan, Hal yang menyangkut asmara setelah berumur 20th,
setelah berusia setengah umur menjadi penasihatlah pegangannya, setelah
itu hanya memikirkan lepasnya atmanlah yang menjadi perhatian.

(Sumber:www.thecrowdvoice.com)
5.2. BAGIAN-BAGIAN
CATUR ASRAMA DAN KEWAJIBANNYA

·
“Brahma”
artinya ilmu pengetahuan suci
·
Cari
( “Car” ) artinya bergerak.
ð
BRAHMACARI
artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut
ilmu pengetahuan)
·
Brahmacari
juga dikenal dengan istilah ” Asewaka guru / aguron-guron ” yang
artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk
ketajaman otak yang disebut dengan ” Oya sakti ” .
·
Dalam
masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan
mempengaruhi ketajaman otak.
ð
Untuk
masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya
umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka
pendidikan dilakukan seumur hidup. (Long
Life Education)
Dalam kitab Silakrama ,
pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual dengan masa
brahmacari. brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain :
a.
SUKLA
BRAHMACARI
è artinya tidak kawin
selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana
dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi
parwa.
b.
SEWALA
BRAHMACARI
è artinya kawin hanya
rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi.
c.
TRESNA
( KRESNA BRAHMACARI )
è artinya kawin yang
lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan
apabila – istri tidak melahirkan
adapun
syarat tresna brahmacari adalah :
- istri tidak bisa melaksanakan
tugas sebagai mana mestinya.
- mendapat persetujuan dari irtri
pertama
- suami harus bersikap adil
terhadap irtri-istrinya
- sebagai ayah harus adil
terhadap anak dari istri-istrinya.
Kewajiban dalam Brahmacari:
Sebagai seorang siswa yang sedang
menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap petunjuk dan nasihat yang
diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal
adanya empat guru, yang disebut dengan Catur Guru, yaitu:
a.
Guru Swadyaya, yaitu Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa).
b.
Guru Rupaka, yaitu orang tua (Ibu dan
Bapak) yang melahirkan dan membesarkan kita.
c.
Guru Pangajian, yaitu guru yang
mendidik dan mengajar di sekolah.
d.
Guru Wisesa, yaitu pemerintah.
“Samyaṅ mithyāprawrtte wā
wartitawyam gurāwiha,
gurunindā
nihantyāyurmanusyānām
nā samçayah.
Lawan waneh, hay wa juga
ngwang mangupat ring guru,
yadyapin salah kene
polahnira, kayatnākena juga gurūpacarana,
kasiddhaning kasewaning
kadi sira, bwat amuharāpāyusa amangun kapāpan,
kanin-dāning kadi sira’
(Sarasamuccaya, 238)
Terjemahan:
Sebagai seorang siswa (murid), tidak
boleh mengumpat guru, walaupun
perbuatan beliau keliru, adapun yang
harus diusahakan dengan baik ialah
perilaku yang layak kepada guru agar
berhasil dalam menimba ilmu. Bagi
yang suka menghina guru, akan
menyebabkan dosa dan umur pendek baginya.

Grahasta berasal dari dua kata.
·
“Grha”
artinya rumah,
·
“stha”
artinya berdiri.
ð GRAHASTA artinya
berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring
dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan
ketulusan.
ð
syarat-syarat
perkawinan
adalah
- sehat jarmani dan
rohani
- hidup sudah mapan
- saling cinta
mencintai
- mendapat persetujuan
dari kedua pihak baik keluarga dan orang tua.
o
Sejak
itu jenjang kehidupan baru masuk ke dalam anggota keluarga / anggota
masyarakat. Menurut kitab Nitisastra. Masa grahasta yaitu minimal 20 tahun.
ð
adapun tujuan grahasta adalah :
- melanjutkan
keturunan
- membina rumah tangga
( saling tolong menolong, sifat remaja dihilangkan, jangan bertengkar apalagi
di depan anak-anak karena akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak )
- melaksanakan panca yadnya (
sebagai seorang hindu )
Kewajiban Suami
Menurut
kitab suci Hindu (Weda Smerti) seorang suami berkewajiban:
1.
Melindungi
istri dan anak-anaknya. la harus mengawinkan anaknya kalau sudah waktunya.
2.
Menugaskan
istrinya untuk mengurus rumah tangga. Dan urusan agama dalam rumah tangga
ditanggung bersama.
3.
Menjamin hidup dengan memberi nafkah kepada
istrinya bila akan pergi keluar daerah.
4.
Memelihara
hubungan kesucian dengan istri, saling percaya mempercayai, memupuk rasa cinta
dan kasih sayang serta jujur lahir batin. Suka dan duka dalam rumah tangga
ditanggung bersama sehingga terjaminnya kerukunan dan keharmonisan.
5.
Menggauli
istrinya dan mengusahakan agar tidak terjadi perceraian dan masingmasing tidak
melanggar kesucian.
6.
Tidak
merendahkan martabat istri. Janganlah terlalu cemburuan, yang menyebabkan
timbulnya percekcokan dan perceraian dalam keluarga.
Kewajiban Istri
Di
samping kewajiban suami menurut Weda Smerti, ditetapkan pula pokok kewajiban
istri, sebagai timbal balik dari kewajiban suaminya. Kewajibannya ini meliputi
kewajiban sebagai seorang istri dan kewajiban sebagai wanita dalam rumah
tangga.
Adapun
kewajibannya itu adalah:
1.
Sebagai
seorang istri dan sebagai seorang wanita hendaknya selalu berusaha tidak bertindak
sendiri-sendiri. Setiap rencana yang akan dibuat harus dimusyawarahkan terlebih
dahulu dengan suami.
2.
Istri
harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga,
supaya baik dan ekonomis.
3.
Istri
harus setia pada suami dan pandai meladeni suami dengan hati yang tulus ikhlas serta
menyenangkan.
4.
Istri
harus dapat mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah laku dengan selalu berpedoman
pada susila. la harus dapat menjaga kehormatan dan martabat suaminya.
5.
Istri harus dapat memelihara rumah tangga,
pandai menerima tamu, dan meladeni dengan sebaik-baiknya.
6.
Istri
harus setia dan jujur pada suami, dan tidak berhati dua.
7.
Hemat
cermat dalam menggunakan harta kekayaan, tidak berfoya-foya, dan boros.
8.
Tahu
dengan tugas wanita, rajin bekerja, merawat anak dan meladeni kepentingan semua
keluarga. Berhias diwaktu perlu.
Demikianlah antara lain kewajiban
sebagai seorang suami dan istri. Oleh karena itu hendaknya selalu memupuk
pribadi yang baik. Selain itu rasa kasih dan sifat lemah lembut bersaudara
harus kita tumbuh kembangkan. Contoh hal tersebut dapat kita temui dalam
wiracarita Mahabarata, dimana diceritakan bahwa Pandawa bersama lima saudaranya
bersatu dan hidup rukun, sehingga ia dapat terangkat dari lembah kesengsaraan
menuju bahagia.
![]() |
Wanaprasta
terdiri dari dua kata yaitu
” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan,
semak belukar dan
” prasta ” yang artinya
berjalan, berdoa.
Jadi wanaprastaè hidup menghasingkan
diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari
ikatan duniawi.
Manfaat menjalani jenjang
wanaprasta
dalam kehidupan ini antara lain :
a. Untuk mencapai ketenangan rohani.
adapun filsafat
tentang itu :
- orang menang, tidak pernah mengalahkan
- orang yang kaya karena tidak pernah merasa miskin
b. Manfaatkan sisi hidup di dunia untuk
mengabdi kepada masyarakat.
c. Melepaskan segala keterikatan duniawi
Menurut
kitab Nitisastra masa wanaprasta setelah berusia kurang lebih 60 tahun ke atas. Karena pada
usia seperti itu, anak-anaknya sudah dapat hidup mandiri. Bagi seorang pegawai
negeri ia sudah pensiun sehingga ia sudah lepas dan bebas dari tugas dinasnya.
Ia dapat menikmati sisa usianya yang sudah senja untuk ketenangan batinnya,
agar dapat berpegang pada ucapan-ucapan yang baik, terutama mempelajari
persiapanpersiapan untuk lepasnya Atma dari tubuh kita yaitu mati. Mati
adalah pasti karena tidak dapat dihindari, hanya waktunya kita tidak tahu karena
itu merupakan kuasa Tuhan. Maka menempuh hidup Wanaprastha bagi setiap
orang tidak sama usianya, karena tingkat sosial ekonomis tiap-tiap orang adalah
berbeda.
![]() |
Kata biksuka berasal
dari kata
“biksu”(sebutan
pendeta Buda). Biksu =
meminta-minta.
Masa BIKSUKAè tingkat kehidupan
yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan (
Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).
Ciri-ciri
seorang biksuka :
a.
Selalu melakukan tingkah laku yang baik dan bijaksana
b. Selalu
memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain bahagia.
c. Dapat menundukkan
musuh-musuh nya seperti Sad Ripu
- kama = nafsu
- loba = tamak / rakus
- kroda = marah
- moha = bingung
- mada = mabuk
- matsyarya = iri hati
Contoh Ceritra Penerapan Brahmacari
“Pelaksanaan
Brahmacari Membawa Akibat Bagi Leluhurnya”
Tersebutlah seorang Brahmana yang
bernama Sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru, sangatlah takut pada
kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas
ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer
di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul
banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para Dewa dan juga
untuk dihidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi leluhurnya
Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri melainkan
bertapa sajalah yang dipentingkan.
Dikisahkan sekarang Sang Maha
Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan £renggi supaya digigit
naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil
bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat,
termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka
namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sedang
terhukum tergantung pada pohon bambu besar, mukanya tertelungkup ke bawah
kakinya diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan
menuju kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu
putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bambu tersebut.
Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum.
Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan
roh terhukum tersebut.
Didekatilah roh itu dan ditanya
satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan
suatu alasan penyebabnya, seperti mencuri, irihati memfitnah, berzina dan
lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti
itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum,
lalu roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakan keadaan saya
semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan
tergantung di bambu besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya
seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan
kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari
sejak masih kecil.
Itulah sebabnya saya ada di buluh
ini, karena berata semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia
telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah
dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina
yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu
hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang
wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para
leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas
kasihan. Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linanglah air
matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat
leluhurnya menderita, lalu berkata: “saya inilah yang bernama Jaratkaru,
seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya
sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah
berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga,
janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”. Saya akan
mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah
istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam
perkawinan saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi.
Demikian kata Sang Jaratkaru dan
pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah
dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia
tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan
kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.
Kemudian masuklah ia ke hutan
sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang
tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah
saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya
leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh
para naga, dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang
bernama Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama
Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan
menghindarkan dirinya dari korban ular. Terjadilah perkawinan kedua mempelai
Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru
mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu
yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau
hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan.
Demikianlah kata Sang Jaratkaru
kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama.Beberapa bulan kemudian
terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil. Pada suatu waktu ia akan tidur,
ia minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan. Ia minta
agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama beliau
tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu
senja tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan
brahmana Jaratkaru, takut kelewatan waktu memuja. Setelah membangunkan
Jaratkaru justru terbalik, brahmana Jaratkaru malah marahmarah mukanya merah
karena marahnya. Brahmana berseru: ”Hai Nagini (Jaratkaru) jahanam! Sangatlah
penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku! Tidak selayaknya
tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan kutinggalkan”.
Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya. Nagini mengikutinya, lari
lalu memeluk kaki suaminya. ”Oh tuanku, Ampunilah hamba tuanku ini. Tidak
karena hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku
akan waktu pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba
menyembah, minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali................Kalau
hamba sudah punya anak yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular,
sejak itulah tuanku boleh bertapa kembali”.
Demikian Nagini minta belas
kasihan. Jaratkaru menjawab “Alangkah baiknyaperbuatanmu, Nagini,
memperingatkan pemujaan kepadaku pada waktu senja, tapi sama sekali aku tidak
dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau. Jangan khawatir
keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan
melindungimu kelak pada waktu korban ular. Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang
Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu mengatakan kepada Sang Basuki tentang kepergian
suaminya. Mengatakan segala perkataan Sang Jaratkaru, dan mengatakan pula
tentang isi kandungannya, yang menyebabkan girangnya sang Basuki.
Setelah berselang beberapa lama
lahir seorang bayi laki-laki sempurna keadaan badannya, kemudian diberi nama
Sang Astika, karena bapaknya bilang ”asti”. Bayi itu disambut oleh Sang Basuki
dan diberi upacara sebagai seorang brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika
itu leluhur yang bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga
mengenyam hasil tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari
korban ular yang dilangsungkan oleh Raja Janamejaya.
![]() |
CATUR VARNA

“Niyatam kuru karma tvam,
karma jyayo hy akarmanah,
sarirayatra pi cha ten
a prasidheyed akarmanah
(Bhagavadgītā III.8.42).
Terjemahan:
Lakukanlah pekerjaan yang
diberikan padamu karena melakukan perbuatan
itu lebih baik sifatnya
daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk
memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak
bekerja.
6.1. PENGERTIAN CATUR VARNA
Catur
Warna berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu :
-
''Catur"
berarti empat
-
"warna"
yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih.
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian
dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma)
seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan,
pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan
mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian
terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan
Sudra.
Caturwarnyam maya srishtam
Guna karma wibhagasah
Guna karma wibhagasah
tasya kartaram api mam
viddhy akartaram avyayam
(Bhagavad-Gita Bab IV sloka 13)
Artinya :
Catur
Warna adalah ciptaan- Ku
Menurut pembagian kwalitas kerja
Menurut pembagian kwalitas kerja
Tetapi
ketahuilah bahwa walaupun Aku yang menciptakannya,
Aku
bukanlah pelaku dan tanpa perubahan
Kenapa Catur Warna
diidentikkan dengan Kasta?
Kata "Kasta"
berasal dari bahasa Portugis
"Caste"
yang berarti pemisah, tembok, atau batas.
Ø Timbulnya istilah
kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial
(perkembangan masyarakat) yang mengaburkan
Ø Pengaburan pengertian
warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di
masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya.
6.2. BAGIAN-BAGIAN CATUR VARNA
Bagian-bagian
Catur Varna :
1.
WARNA BRAHMANA (PUTIH)
Disimbulkan dengan
warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap
orangnya menitikberatkan pengabdian
dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
-orang-orang
yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta
intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani
serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan
2.
WARNA KSATRIA. (MERAH)
Disimbulkan dengan
warna merah
Ksatria-orang orang
yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang
bertugas untuk mengatur negara dan
pemerintahan serta rakyatnya.
Atau
seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan
staf - stafnya.
Jika dipakai
ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri,
polisi, tentara dan sebagainya.
setiap orangnya
menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan,
keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
3.
WARNA WAISYA . (KUNING)
Disimbulkan dengan
warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya
menitikberatkan pengabdiannya di bidang
kesejahteraan masyarakat (perekonomian, usaha dan lain- lain).
orang yang
bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau
seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian.
Dalam hal
ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang
dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin
memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.
4.
WARNA SUDRA. (HITAM)
Disimbulkan dengan
warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya
menitikberatkan pengabdiannya di bidang
ketenagakerjaan.
Sudra-orang yang
bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan
hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang
memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.
seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada
Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke
Tri Warna diatas.

6.3. KEWAJIBAN MASING-MASING VARNA
1. Bramana
è Dharma, satya, Dama,
Tapa, Drti, Ksama, Yadnya, Titiksa (tidak gusar).
Keterangan yang senada kita jumpai pula dalam Manawa
Dharmaśāstra I, 88,
yang berbunyi sebagai berikut:
Adhyāpanam adhyayanam
Yajanam yājanam tathā,
dānam pratigraham caiva
Brāhmanānām akalpayat
Terjemahan:
Kepada Brāhmaṇa, Tuhan menetapkan
kewajibannya ialah mempelajari dan
mengajarkan Veda, melaksanakan upacara
kurban untuk diri sendiri dan
masyrakat umum, memberikan
dan menerima dana punia.
2. Ksatria
è
Menjaga keamanan negara, bersedekah, mempelajari weda, upacara korban api suci
ManawaDharmasastra II sloka 31, menyebutkan untuk golongan atau Varna Kṣatriya
nama-namanya hendaknya menggunakan kata-kata mengandung
arti “kekuatan”. Sifatsifat
Varna Kṣatriya, Bhagavadgītā XVIII, 43, menguraikari sebagai berikut:
śauryaḿ tejo dhṛtir
dākṣyaḿ
yuddhe cāpy apalāyanam
dānam īśvara-bhāvaś ca
kṣātraḿ karma
svabhāva-jam
Terjemahan:
Berani, perkasa, teguh iman, cekatan
dan tak mundur dalam peperangan,
dermawan dan berbakat memimpin, adalah karma (kewajiban) Kṣatriya.
3. Waisya
è
Bersedekah, menjalankan perekonomian negara, bhakti kepada TRYAGNi, yaitu : Ahawaniya (Api tukang masak),
Garhaspati (Api perkawinan), Cita gni (api Pembakar mayat)
Peranan dan fungsi Waisya dijumpai dalam pustaka suci
Hindu Slokantara, 37, diuraikan kewajiban Waisya
sebagai berikut:
Vaicyah krsivalah karyo
gopah
sasya bhrtwratah
Wartayukto
grhopatah ksetrapalo ‘tha
Vaisyajah.
Kalingannya, karyaning
sang Waisya,
masawahsawah rumaksa ring
lembu,
dhumaranang pari, maka
sahaya wuluku,
kahananya umunggah
ringgrha kathanyan.
Ksetrapala ngaranya
rumaksa sawah.
Yeka Waisya sasana, ling
sang Hyang Aji.
Terjemahan:
Orang Waisya harus bekerja sebagai
petani, pengembala, pengumpul hasil tanah,
bekerja dalam lapangan perdagangan dan
mempunyai hotel-hotel dan rumah
penginapan. Orang yang lahir di
keluarga Waisya itu lahir sebagai pelindung ladang.
Pekerjaan seorang Waisya ialah
peladang, memelihara ternak, mengumpulkan padi
dan membajak, tempat dalam bertugas
ialah pondok. Ksetrapala artinya pelindung
ladang. Demikianlah kewajiban seorang
Waisya menurut kitab suci.
4. Sudra
è Melayani, sebagai
pekerja, mengabdi pada Brahmana, Ksatria dan Waisya.
Sarasamuccaya, 60, menguraikan peranan dan fungsi Varna Śudra
sebagai berikut:
Brāhmaṇa ksatram
waicyaVarnam ca śūdrah
Kramenaitan nyāyatah
pūjyamanah,
tusteswateswawyatho dagdhapāstyaktwā
deham sidhimistam labheta.
Yapwan ulahaning śudra,
bhaktya sumewāri sang brāhmana,
Ri sang ksatriya,ring
waiśya, yathākrama juga, paritusta sang telun
sinewakanya hilang ta
papanya, siddha sakāryannya.
Terjemahan:
Akan halnya perilaku Śudra, setia
mengabdi kepada Brāhmaṇa, Kṣatriya, dan
Waisya sebagaimana mestinya, apabila
puaslah ketiga golongan yang dilayani
olehnya, maka terhapuslah
dosanya dan berhasil segalanya.
6.4. PROFESIONALISME VARNA -KASTA - WANGSA
Catur Kasta / Wangsa
ð merupakam Sistem pelapisan sosial masyarakat Bali yang
beragama Hindu disebut “Wamsa”, yang
oleh masyarakat luas disebut “Wangsa”.
ð Wangsa sendiri juga
seperti kasta, dimana sama-sama bukan ajaran Agama Hindu. Sistem wangsa di Bali
sendiri timbul sejak pemerintahan Dalem di Bali
pada abad ke XV.
Wangsa
/ Kasta dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
1.Brahmana
Wangsa,
ð yang secara
tradisional berasal dari keturunan Dang Hyang Dwijendra danDang Hyang Astapaka,
2.Ksatria
Wangsa,
ð yaitu keturunan
Ksatria yang berasal dari Majapahitdan Kediri
3.Jaba
Wangsa,
ð yaitu mereka yang
tidak masuk ke dalam Brahmana dan Ksatria wangsa
·
Sebenarnya
umat hindu sudah menyalah artikan tentang warna maupun kasta tersebut . Kasta
itu adalah hanya sebuah title / kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa
daerah Bali) karena jasa-jasa dan kedudukan nya dalam bidang pemerintahan ,
Negara maupun di masyarakat dan diwarisi secara turun temurun oleh anak cucu
nya dianggap hak , walaupun tidak lagi memegang jabatan itu Sedangkan sistem
Warna mengajarkan seseorang agar tidak
membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan
mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status
tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka.
Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang
disandang daripada membanggakannya.
·
Maka
dari itu jangan mencampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini
adalah persoalan masyarakat, persoalan
jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam
agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada
empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang
sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat
warna ini ada sepanjang zaman.
·
Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 29 Oktober 2002. Menetapkan antara
lain; Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan
kewajiban masyarakat atas “guna” dan “Kama” dan tidak terkait dengan Kasta atau
Wangsa. Bhisama tentang Pengamalan Catur Varna ini sebagai pedoman yang
sepatutnya dipatuhi oleh seluruh umat Hindu. Menugaskan kepada Pengurus Harian
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang
Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini
kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
1 comments
Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu, sekarang kebanyakan digunakan hal lain daripada belajar. Solusinya yaitu bisa dilakukan dengan memotivasinya bahwa ilmu itu berguna untuk masa depan.
Grahasta yaitu membentuk rumah tangga, disini ad sampai terjadinya perceraian, solusinya yaitu seperti saling mengerti dan mengalah.
Wanaprasta yaitu membebaskan diri dari ikatan duniawi.
Bhiksuka yaitu meminta minta.
Pada Catur Asrama ini pada intinya yaitu agar tercapainya hidup yang baik.
EmoticonEmoticon