Saturday, August 24, 2019

KELAS XI SEMESTER 2



 BAB III

MOKSA
(MOKSA SEBAGAI AKHIR MENURUT AGAMA HINDU)
(Sumber: chinabuddhismencyclopedia.com)

3.1  PENGERTIAN MOKSHA
·         Moksa berasal dari bahasa sansekerta
muc” berarti membebaskan atau melepaskan.
 Jadi moksa adalah suatu kelepasan atau kebebasan. Dimana kata moksa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan. Moksa juga bisa di katakan Nirguna Brahman.

ð  Yang dimaksud degan kebebasan dalam  moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga atman dapat menyatu dengan Brahman

·         Bagi manusia yg telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda.
·         Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap manusia bisa mencapai moksa apabila ia dgn tekun mengikuti petunjuk ajaran agama. Jln yg ditunjuk oleh agama untuk mencapai moksa adalah catur marga yoga: empat jln menuju tuhan atau brahman.

Ciri-ciri orang yg mencapai moksa:
-          Setiap umat manusia mampu mencapai moksa apabila ia tekun melaksanakan ajaran agamanya. Di antara ke emat jalan tersebut umat boleh melaksanakan salah satunya yang mereka mampu laksanakan sesuai dengan kondisi kehidupannya.
-          Moksha dapat dicapai di dunia ini (ketika kita hidup) dan dpt pula kita capai setelah hidup ini berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya dari pikiran, indera dan kama dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka, sedih dan senang yang muncul dari tri guna maka manusia tersebut akan dpt mencapai klepasan itu, sebagai mana disebutkan dalam bhagawad-gita :

Brahmabhûtah prasannãtmã,
na sochati na kãnkshati,
samah sarveshu bhûteshu,
madbhaktim labhate param”
(Bg, XVIII. 54).
Terjemahan:
Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram,
 tiada dhuka tiada nafsu-birahi,
memandang semua makhluk insani sama,
 ia mencapai pengabdian kepada-ku yang tertinggi.

3.2  PEMBAGIAN MOKSHA
            Dalam ajaran agama hindu ada disebutkan beberapa tingkatan-tingkatan moksa berdasarkan keadaan atma yang dihubungkan dengan brahman.

Adapun Bagian-Bagiannya Dapat Dijelaskan :
1.Jiwamukti
ð  Tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yg dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmannya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya (pengaruh duniawi). Dimana keadaan atma seperti ini disamakan dengan Samipya dan Sarupya.
2. Widehamukti
ð  Tingkatan kebebasan yg dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atma telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yg bersangkutan masih kena pengaruh maya yg tipis. Tingkat keberadaan atma dlm posisi ini disetarakan dgn brahman, namun belum dpt menyatu dengan-nya, sbg akibat dari pengaruh maya yg masih ada. Widehamukti dpt disejajarkan dgn salokya.
3. Purnamukti
ð  Tingkat kebebassan yg paling sempurna. Pada tingkat ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dgn Brahman. Setiap orang dpt mencapai posisi ini, apabila yg bersangkutan sungguh-sungguh dgn kesadaran dan hati yg suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Posisi Purnamukti dapat disamakan dengan Sayujya.

ð  Berdasarkan pada keadaan tubuh atau lahiriah manusia, tingkatan-tingkatan atma itu dapat dijabarkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Moksa (meninggalkan mayat tak tahu ajal kematian)
2. Adi Moksa (meninggalkan abu, tahu waktu kematian)
3. Parama / Purna Moksa (tanpa meninggalkan mayat / bekas)

JENIS-JENIS MOKSA:
ð  Secara lebih rinci sesuai dgn uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa maka tingkatan-tingkatan moksa dpt dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan.

Moksa dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenisyaitu:
1.SAMIPYA
ð  Suatu kebebasan yg dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dpt dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maha Rsi. Beliau dlm melakukan Yoga Samadhi dpt melepaskan unsur-unsur maya, shg beliau dpt mendengarkan wahyu Tuhan. Dlm keadaan yg demikian itu atman sangat dekat dgn Tuhan.

2. SARUPYA (SADHARMYA)
ð  suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama dan Buddha serta Sri Krsna. Walaupun atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tdk terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini.

3. SALOKYA
ð  Suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, dimana Atman itu sendiri telah berada dlm posisi dan kesadaran yang sesama dengan Tuhan. Dlm keadaan seperti itu dpt dikatakan beliau Atman telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

4. SAYUJYA
ð  Suatu tingkatan kebebasan yang tertinggi dimana Atman telah dpt bersatu dgn Tuhan Yang Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan “Brahman Atman Aikyam” yang artinya : Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.

Dalam mewujudkan kebebasan tersebut sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka di bawah ini:
Sloka:

“Sribhagavan uvacha: Akasaram brahman paramam svabhavo dhyatmam uchyate, bhutabhavodbhavakaro visargah karmasamjnitah”
(Bhagawad-gita. VIII. 3. 129).
Terjemahan:
Sri bghagawan Bersabdha: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal,
yang maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman.
 Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup.

·         Perbedaan orang yg telah   mencapai   Jiwa Mukti dgn   Kalangan   Masyarakat Biasa

Orang yang telah mencapai Jiwan Mukti dlm hidupnya tdk lagi terikat pd gelombang kehidupan di dunia ini. Bagi orang yang telah mencapai Jiwan Mukti bekerja adalah merupakan pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan pula kepada Tuhan.
Bagi dirinya berpandangan sama terhadap baik kegagalan maupun keberhasilan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih kepada smua makhluk di dunia ini.
Orang suci yang telah mencapai kesadaran akan dirinya yang sejati adalah seseorang yang telah mencapai Jiwa Mukti. Ia telah mempersembahkan setiap perbuatannya kepada Tuhan dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.
Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yg masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua pekerjaannya dilakukan oleh dirinya, maka itu dirinya masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semuannya ini ada diliputi oleh Ketuhanan.
Begitulah perbedaan antara seseorang yang telah mencapai jiwa mukti dengan kalangan masyarakat biasa yang masih sangat terikat dgn akan duniawi, benda-benda duniawi yang serba ilusi. Hendaknya diantara mereka dapat saling mengisi, mengasihi, sehingga kehidupan ini berlangsung dengan damai, tentram, harmonis, saling mengasihi dan saling menyayangi satu dengan yang lainnya.

3.3. JALAN MENUJU MOKSA

Tujuan terakhir dan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat Hindu adalah Moksa.

ð  Bebagai cara/jalan dilakukan oleh umat Hindu guna mewujudkan tujuan utamanya ini dgn sembahyang. Dgn sembahyang bathin seseorang menjadi tenang, dgn Dharana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Samadhi (mengheningkan cita), manusai beranggur-anggur ingin dpt mencapai tujuan hidupnya yg tertinggi yaitu bebas dari segala ikatan keduniawian.
Empat jalan menuju Tuhan atau pemusatan pikiran kepada Tuhan yg disebut dgn Catur Marga Yoga.

1. Bhakti Marga Yoga
ð  proses atau cara mempersatukan Atman dengan Brahman dgn berlandaskan atas dasar cinta kasih yg mendalam kpd Tuhan.

  Bhakti marga yoga berarti jalan cinta kasih atau persembahan. Cinta kasih yang mendalam adlh suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yg disebut Maitri.
·         Bagi seorang Bhakta cinta kasihnya kpd semua ciptaan Tuhan sangat subur dan kasih sayangnya tanpa batas.
·         Seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia akan selalu mengembangkan sifat-sifat Catur Paramita yaitu:
  1. Maitri = persahabatan/persaudaraan,
  2. Karuna = sifat kasih sayang,
  3. Mudita = sifat simpati dan peduli kpd penderitaan orang lain, dan
  4. Upeksa = sifat yang arif bijaksana kpd semua ciptaan Tuhan tanpa membedakan statusnya.

2. Karma Marga Yoga
ð  Jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dgn perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling penting dari Karma Marga Yoga adalah melepaskan semua hasil kerja dan segala perbuatannya hnya kepada Tuhan. Dalam Bhagawadgita III.19. dinyatakan:

tasmad asaktah satatam karyam karma samacara,
 asakto hy acaran karma param apnoti purusah”
Terjemahan:
Oleh karena itu, laksanakan segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya,
 sebab dengan melakukan kegiatan yang bebas dari keterikatan,
Orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.
(Bhagawadgita III.19)

Bagi seorang Karmin semua perbuatan yg ia lakukan ia serahkan hasilnya kepada Tuhan, karena penyerahan hasilnya kepada Tuhan bukan berarti kehilangan, bahkan akan datang balasan berlipat ganda
Ajaran agama selalu menyarankan kepada umatnya agar menjadi seorang Karma Yogin yang selalu mendambakan pedoman Rame Inggawe Sepi Ing Pamrih ( banyak melakukan pekerjaan tanpa menginginkan imbalan atau hasilnya).

3. JnanaMarga Yoga
ð  Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari kata Yuj artinya: menghubungkan diri. Jnana Marga Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dgn jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.

Ada tiga hal yang penting dalam menghubungkan diri dengan Tuhan, dalam hal ini kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yg kokoh, tentram, dan damai.
Ketiga hal tersebut merupakan Dhyana Yoga. Untuk mencapai hal trsbut dgn jln Abhyasa, yaitu latihan-latihan dan Vairagya, yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri.

4. Raja Marga Yoga
ð  Suatu jalan mistik (rohani) utk mencapai kelepasan atau Moksa. Dengan Raja Marga Yoga seseorang lbh cpt utk mencapai Moksa, namun tnantangannya yg dihadapinya punlebih berat, dimana orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru kerohanian yg sempurna.

Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh seorang Raja Yogin, yaitu melakukan Tapa Brata, Yoga, dan Samadhi.

TapaBerata: merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi dan nafsu yang ada dlm diri kita kearah yg positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci.

Yoga dan Samadhi: latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.

ð  Seorang Raja Yoga dapat mencapai moksa dengan melalukan Astangga Yoga Yaitu delapan Tahan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga di ajarkan Oleh Rsi Patanjali dalam Bukunya Yoga Sutra Patanjali.

Astangga Yoga:
1.Yama:
ð  suatu bentuk larangan yang hrs dilakukan oleh seseorang dari segi jasmani, seperti Tidak membunuh (Ahimsa), berbohong (satya), tidak menginginkan sesuatu yg bukan miliknya (Asteya), pantang melakukan hubungan seksual (Brahmacari), tidak menerima pemberian orang lain (Aparigraha).

2. Nyama:
ð  Bentuk pengendalian diri yg lebih bersifat rohani, misalnya: Sauca (tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan), dan Iswara Pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan), dan Tapa (tahan uji).
3. Asana:
ð  Sikap duduk yang menyenangkan, teratur, dan disiplin.
4. Pranayama:
ð  Mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu: (1) Puraka (menarik napas), (2) Kumbhaka (Menahan nafas), dan (3) Recaka (Mengeluarkan nafas).
5. Pratyahara:
ð  Mengontrol dan mengendalikan semua indrya dari ikatan obyeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
6. Dharana:
ð  Usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan, terfokus pada satu obyek tujuan yaitu Brahman.
7. Dhyana:
ð  pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu obyek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Dewata.
8. Samadhi:
ð  Penyatuan Atman, sang diri sejati dgn Brahman) bila seseorang melakukan latihan Yoga dgn teratur dan sungguh-sungguh ia akan dpt menerima getaran-getaran suci / wahyu Tuhan.
Didalam kitab suci Bhagawad-gita dijelaskan hanya orang yogi yg mampu memusatkan pikirannya pada Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam sloka Bhagawad-gita sebagai berikut:
Sloka:
Yogiyuhjita satatam atmanam rahasi sthitah,
ekaki yata-citatma nirasir aparigrahah”
(Bg.VI.10).
Terjemahan:
Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya
 (kepada atman yg maha besar) tinggal dlm kesunyian dan tersendiri,
 menguasai dirinya sendiri,
bebas dari anggan-anggan dan keinginan untuk memiliki.
Sloka:

Prasanta-manasam hy enam yoginam sukham uttamam,
upaiti santa-rajasam brahma-bhutam akalmasam”
(Bg. VI.27).
Terjemahan:
Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang,
 yang nafsunya tidak bergolak,
 yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan.

Ø  Empat jalan yang ditempuh untuk mencapai moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka setiap orang akan mampu mencapai moksa walaupun dgn jalan yang berbeda namun tujuannya sama yaitu mencapai Moksa atau bersatunya atman dengan Brahman. Moksa merupakan tujuan hidup spiritual bukanlah janji hampa melainkan suatu keyakinan yang berakhir dengan kemyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan intuisi yang mendalam.
Ø  Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan tertinggi umat Hindu adalah Moksa. Moksa merupakan kebebasan, bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari kelahiran berulang-ulang dan bersatunya atman dengan paratman. Moksa berarti ketenangan dan kebahagiaan spiritual yang kekal abadi (suka tan pewali duka).

3.4    TANTANGAN DAN HAMBATAN MOKSA
             Setiap tujuan yang ingin dicapai sedikit tidaknya pasti menemui tantangan atau hambatan, demikian juga dalam mencapai moksa sungguh tidaklah mudah, banyak terdapat hambatan dan rintangan diantaranya :
   1.            Masih melekatnya karma wesana dalam jiwatman.
   2.            Karena terbelenggu oleh Awidya / kebodohan
   3.            Karena ikatan subha dan asubha karma
   4.            Karena guna, rajas dan tamas selalu lebih dominan
   5.            Citta, Budhi, Manah dan Ahamkara tidak seimbang
   6.            Belum dapat melaksanakan ajaran-ajaran Catur Asrama dengan baik dan benar.
            Selain itu menjalankan Spiritual dalam kehidupan sehari hari sering mengalami kendala, banyak pertanyaan yang timbul terutama generasi muda, apakah kita melakukan kegiatan spiritual harus mengurangi kegiatan untuk mencari harta yaitu bekerja (karma). Ada juga yang berpendapat bahwa melakukan kegiatan spiritual sebaiknya dilakukan setelah MPP (masa persiapan pensiun) disamping banyak waktu juga tanggung jawab atau kewajiban sudah berkurang. Pada saat bekerja aktif dimana ada suatu jabatan tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan dengan pekerjaan yang kadang menyimpang dari Dharma akibat tugas yang membutuhkan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan manajemen.

3.5    UPAYA-UPAYA MENCAPAI MOKSHA
            Ada banyak upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mencapai kebahagiaan abadi atau disebut moksa antara lain :
1)      Mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa
2)      Disiplin melaksanakan Meditasi
3)      Mendalami ilmu pengetahuan
4)      Selalu melaksakan Dharma
5)      Menumbuh kembangkan kesucian lahir bathin
6)      Memahami dan melaksanakan Catur Marga

3.6    CONTOH ORANG YANG DIPANDANG MAMPU MENCAPAI MOKSHA
Sraddhavan anasuyas Ca
Srnuyad api yo narah
So pi muktah shubhamlokan
Prapnuyat punya-karmanam
(Bhagavadgita XVIII.71)
Terjemahan:
Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela orang seperti itu walaupun sekedar hanya mendengar, ia juga terbebas,  mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebahagiaan.

            Adapun orang yang dipandang mampu mencapai Moksa dalam epos purana dan keyakinan umat Hindu antara lain :
·         Sri Rama yang dipandang sebagai orang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi, ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya.
·         Dang Hyang Nirarta atau sering disebut dengan Dang Hyang Dwi, beliau moksha dipura uluwatu, dengan karma dan kesaktian beliau meditasi dipura uluwatu, dan akhirnya beliau  moksa dipura tersebut dengan mengalai parama moksa yaitu moksa tanpa meninggalkan tubuh/mayat. Tubuh beliau sudah mengalami pralina atau kembali kealam.













BAB IV

 



ESENSI BHAKTI SEJATI DALAM RAMAYANA

(Sumber: sejarahharirayahindu.blogspot.com)

Arcata prarcata priyam edhaso Arcata,
arcantu putraka uta puram na dhrsnvarcata”
(Rgveda VIII.69.8)
"(Pujalah, pujalah Dia sepenuh hati,
Oh cendekiawan, Pujalah Dia.
semogalah semua anak- anak ikut memuja- Nya,
teguhlah hati seperti kukuhnya candi
dari batu karang untuk memuja keagungan- Nya)."


4.1.  Ajaran Bhakti Sejati
Bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti. Bhakti yoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang menggelora dan menyerap segalanya.
Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci makhluk hidup atau benda apa pun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya. Kama (keinginan duniawi) dan trisna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki kerinduan yang dalam terhadap Tuhan Atma-Nivedana merupakan penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan cara bhakti. Atma-Nivedana adalah prapatti atau saranagati. Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.


4.2. Bagian Bagian ajaran Bhakti Sejati

 Bagian-bagian dari ajaran bhakti sering disebut dengan Nawa Widha Bhakti :

NO
Bagian
Makna
1
Srawanam
è mendengarkan petuah (pitutur)
2
Wedanam
è membaca kitab suci
3
kirthanam
è melantumkan tembang suci
4
Smaranam
è menyebut/mengingat Tuhan berulang-ulang
5
Padasewanam
è sujud bhakti dikaki nabe (yang dimuliakan)
6
Sukhyanam
è menjalin persahabatan
7
 Dahsyam
è berserah diri kehadapan Tuhan
8
Arcanam
è berbakti dengan simbol-simbol Tuhan
9
Sevanam
è memberikan pelayanan yang baik





4.3. SLOKA AJARAN BHAKTI SEJATI DALAM RAMAYANA
                Salah satu petunjuk tentang bhakti dapat dipahami dalam Kekawin Ramayana sargah II Sloka 2 yang menyatakan :

Gunamanta Sang Dasarata
Weruh Sira ring Weda,
Bhakti ring Dewa
Tarmalupeng Pitra Puja,
Masih te sireng sawagotra kabeh
Terjemahannya:
Sang Dasarata adalah seorang raja yang sangat terkenal dan bijak sana, beliau paham tentang isi Weda (Agama), beliau selalu bhakti kepada dewa yaitu prabhawa Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, tidak melupakan pemujaan terhadap leluhur dan cinta kasih kepada keluarga juga selalu ditunjukkan.

Berdasarkan sloka tersebut diatas yang dikutip dari cerita Ramayana, terkandung ajaran bhakti dalam agama Hindu merupakan kewajiban (swadharma) yang harus dilaksanakan dalam menapaki kehidupan didunia ini. Obyek utamanya adalah Ida Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kemahakuasaanya (Dewa), sejumlah manifestasinya dan para leluhur, baik yang mempunyai hubungan vertikal pada setiap umat, maupun leluhur secara horisontal mendapat pengakuan bersama dalam agama.



4.4. BENTUK PENERAPAN BHAKTI SEJATI DALAM KEHIDUPAN

1.    SRAWANAM artinya mendengarkan piteket/ pitutur sane rahajeng/ baik.
ð  Mendengarkan ‘piteket pitutur sane rahayu’ (Bhs. Bali) mendengarkan wejangan yang baik misalnya; dapat menerima wangsit, senang menerima, mendengarkan dan melaksanakannya yang diajarkan oleh orang tua kita di rumah, oleh guru di sekolah, oleh orang suci, dan para pemimpin yang menjalankan pemerintahan. Berterima kasih kepada siapa saja yang telah memberikan nasihat yang positif untuk kemajuan diri kita.

2.    WEDANAM artinya membaca kitab kitab suci agama yang kita yakini.
ð  Membaca kitab kitab suci Agama Hindu yang kita yakini misalnya; Membiasakan diri suka membaca sloka-sloka kitab Bhagawadgita, Kitab sarasamuscaya, membaca tatwa-tatwa Agama Hindu baik bersumberkan Sruti maupun Smrti, melalui membaca ajaran suci akan dapat memberikan kesucian pikiran, ketenangan batin dan pengetahuan rohani yang lebih luas.

3. KIRTHANAM artinya melantunkan Tembang tembang suci/ kidung, wirama rohani.
ð  Melantunkan Tembang tembang suci/ kidung, wirama rohani misalnya; Melantunkan kidung sebelum dan sesudah melaksanakan persembahyangan, pembacaan wirama dari kekawin baik Ramayana dan Mahabharta. Menyanyikan tembang-tembang yang mengajarkan pitutur, piteket yang mengandung tuntunan hidup, cara mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi/ Tuhan antara lain melalui tembang Sekar alit, Sekar Agung, Sekar madya dan lagu-lagu daerah setempat yang mengandung nilai-nilai budaya.

4. SMARANAM artinya secara berulang-ulang menyebutkan nama Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
ð  Secara berulang-ulang menyebutkan Nama-NYA misalnya; Melakukan japa mantra yaitu mengucapkan mantra-mantra secara berulang-ulang dan terus menerus baik dalam batin maupun melalui ucapan. Mengucapkan Mantra Om bhur bhuwah svah, tat savitur varenyam,bhargo Devasyo dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat. Mengucapkan OM Nama Siwa, maupun mantra dan doa yang lainnya yang tujuannya untuk memberikan keselamatan baik jiwa dan raga kita maupun sekitarnya.

5. PADASEWANAM artinya sujud bhakti di kaki Nabe.
ð  Sujud Bhakti di kaki Nabe misalnya; Menghormati dan melaksanakan ajaran orang suci seperti Pendeta/Pedande, Pinandita/pemangku. Selain itu tugas kita membantu, memberikan pelayanan, memberikan dana punia, untuk kesejahteraan hidup orang suci, sehingga beliau dapat melaksanakan tugasnya untuk keselamatan umat manusia dan seisi alam semesta ini.

6. SUKHYANAM artinya menjalin persahabatan.
ð Menjalin persahabatan misalnya; Dalam ajaran Catur Paramitha disebutkan Maitri yaitu: Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain karena manusia adalah makluk sosial. Untuk itu kita harus mencari dan menpunyai banyak teman sebagai sahabat. Bersahabatlah dengan orang-orang yang memiliki sifat mulia seperti: susila, pintar, dan saling mengasihi dan menyayangi, suka menolong dan sifat-sifat baik lainnya. Sehingga dalam hidup ini nyaman, damai, tenang.

7. DAHSYAM artinya berpasrah diri memuja kehadapan para dewa.
ð  Berpasrah diri dihadapan para bhatara-bhatari sebagai pelindung dan para dewa sebagai sinar suci Tuhan untuk memohon keselamatan dan sinarnya disetiap saat adalah sifat dan sikap yang sangat baik. Berpasrah diri adalah wujud dari sikap percaya secara penuh kehadapan Tuhan. Berpasrah diri adalah sikap bertanggung jawab penuh kehadapan Tuhan akan segala kemunginan yang terjadi. Berpasrah diri dapat melenyapkan segala keragu-raguan yang ada pada setiap pribadi seseorang. Melaksanakan persembahyangan dengan baik adalah merupakan salah satu wujud dari berpasrah diri. Setiap umat penting berpasrah diri kepada Tuhan beserta dengan manifestasi-Nya karena beliau tidak akan mungkin menyengsarakan umatnya. Setiap siswa perlu berpasrah diri kepada gurunya, karena tidak ada guru yang akan menelantarkan peserta didiknya.
ð  Demikian juga sebaliknya, tidak ada siswa yang baik akan menyia-nyiakan gurunya dalam pembelajaran. Membantu para guru di sekolah yang memberikan ilmunya dengan cara belajar yang tertib, jujur, dan bertanggung jawab adalah cermin siswa yang baik. Jika menjadi pegawai/karyawan memberikan pelayanan yang menyenangkan penuh dedikasi terhadap yang membutuhkan jasa dan pelayanan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya perlu juga berpasrah diri kepada atasannya, karena tidak ada atasan yang baik yang akan menyengsarakan bawahannya.

8. ARCANAM artinya bhakti kepada Hyang widhi melalui simbol-simbol suci keagamaan.
ð  Bhakti kepada Hyang widhi melalui simbol misalnya: Menghormati dan menjaga kesucian Pura sebagai lambang/simbol perwujudan Sang Hyang Widhi, karena melalui simbol tersebut manusia lebih dekat dengan Tuhan dan manifestasi-Nya. Melalui simbol melakukan pemujaan sebagai wujud rasa bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi, maka dibuatkanlah Pratima atau Patung-patung Deva, termasuk sejajen/banten adalah perwujudan Tuhan.

9. SEVANAM artinya memberikan pelayanan yang baik.
ð Sevanam atau Atmanividanam adalah bhakti dengan jalan berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan. Memberikan pelayanan misalnya; Memberikan pelayanan dari masing-masing pribadi yang terbaik kepada sesama. Sebagian orang menyebutnya bahwa hidup ini untuk pelayanan (sevanam). Dalam konteks pelayanan ini, tugas kita adalah memberikan bantuan kepada sesama untuk meringankan bebannya, baik pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Terwujudnya Doa yang diucapkan tentu menjadi harapan kita bersama untuk meringankan sesama.


4.5. AJARAN BHAKTI SEJATI SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI YANG LUHUR DALAM ZAMAN GLOBAL

                Konsep ajaran bhakti merupakan pondasi dasar dalam agama Hindu. Ajaran bhakti mengandung karakter-karakter setiap individu secara menyeluruh khususnya yang menyangkut sikap, budi pekerti, sopan santun, tanggung jawab serta sikap-sikap yang luhur dan mulia. Wujud bhakti secara umum yang dipakai sebagai dasar dalam menghadapi zaman globalisasi menurut agama Hindu antara lain:
1)      Bhakti dalam arti persembahan, sesajen, banten sesuai desa kala patra masing-masing,
2)      Bhakti dalam arti sembahyang atau muspa, seperti melaksanakan Puja Trisandya tiga kali sehari, melaksanakan puspa kramaning sembah di pura-pura baik dalam piodalan maupun hari-hari tertentu.
3)      Bhakti dalam arti bersikap, membantu sesama, tolong menolong, terutama bhakti kepada yang dimuliakan seperti orang tua, Guru, sahabat dan yang lainnya.























BAB V

 





MENCIPTAKAN KELUARGA SUKHINAH

(PAWIWAHAN)
(Sumber: sejarahharirayahindu.blogspot.com)


5.1. PENGERTIAN DAN HAKIKAT KELUARGA SUKHINAH

                Istilah keluarga berasal dari bahasa sanskerta, dari kata ‘kula’ yang berarti abadi atau hamba dan kata ‘warga’ yang berarti jalinan atau ikatan.
ð  Jadi kata Keluarga artinya jalinan atau ikatan pengabdian suami istri dan anak. Keluarga merupakan kesatuan yang terjalin melalui pawiwahan dalam agama Hindu.

ð   Pawiwahan (nikah; nganten, mesakapan; "Wiwaha Samskara"; Grehasta) adalah tradisi adat perkawinan Hindu di Bali (termasuk dalam manusa yadnya) dimana dalam pernikahan menurut pandangan orang bali disebutkan merupakan :

  • Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri;
  • "Tetep pageh ring tresna Sujati";
  • Selalu setia terhadap janji dan kata hati.

ð  Wiwaha atau nganten adalah ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat antara laki laki dan wanita.

ð  Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual.
Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi.

·         Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
ð  Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa


Wiwaha harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.
 Pawiwahan atau Pernikahan adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:   PAWIWAHAN adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Beberapa Sarana Pawiwahan disebutkan berupa :
·          Beakala, simbol pensucian “sukla swanita” (calon jabang bayi) dan sebagai Bhuta saksi, yaitu bagian dari Trisaksi yakni: Bhuta, Dewa, dan Manusa Saksi.
·          Tegteg daksina peras ajuman masing-masing di Sanggar Surya untuk mohon kesaksian Bhatara Surya/ Siwa, di Lebuh untuk mohon kesaksian Bhatara Wisnu, dan di arepan Pandita untuk mohon pemuput.
·          Hulu banten berupa tegteg daksina peras ajuman di depan bale pawiwahan.
·         Dua buah pajegan yaitu pajegan buah-buahan diletakkan di sebelah kanan sebagai simbol pradana, dan pajegan bunga-bungaan disebelah kiri sebagai simbol purusha.
·         Taledan segi empat sebagai alas banten, simbol catur weda.
·         Dua buah tumpeng, yaitu merah simbol kama bang (wanita) dan tumpeng putih simbol kama petak (laki-laki).
·         Satu butir telur bebek rebus simbol calon janin diletakkan di tengah-tengah tumpeng dan ditancapi bunga warna merah dan putih.
·         Kalungan bunga merah putih simbol kekuatan ikatan perkawinan.
·         Segehan aperancak sebanyak 5 tanding masing-masing diletakkan dibawah sanggar surya, beakala, bale pawedaan, bale pawiwahan, dan di lebuh, sebagai haturan kepada bhuta kala.
·         Tegteg daksina peras ajuman di kamar tidur pengantin untuk mohon perlindungan kepada Bethara Semara-Ratih agar pengantin dilindungi dari mara bahaya dalam melaksanakan pawiwahan.
·         Tata pelaksanaan Upacaranya adalah Pandita ngarga tirta, mareresik, dan mapiuning ke sanggar surya dan lebuh, kemudian pengantin mabeakala, setelah itu pengantin menghadapi bale pawiwahan untuk natab banten pawiwahan sadampati. Sebelumnya pengantin dikalungi bunga.
·         Setelah natab, telur bebek dikupas dan diberikan makan kepada pengantin; pengantin mejaya-jaya, terus muspa, mabija, mawangsuh pada. Pandita memberikan dharma wacana tentang susila pengantin kepada kedua mempelai. Pandita mapuja banten yang ada di kamar tidur pengantin.

Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu:
  • Bhuta saksi (upacara mabeakala),
  • Dewa saksi (mapejati dengan melaksanakan persaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, upacara dengan natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah / Merajan), dan
  • Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru desa adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya).
Manusa saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan, Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil.
Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan.
 Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.
Untuk Urutan Upacara Pernikahan :
1. Upacara di rumah pengantin wanita :
-Masewaka / melamar
-Madik – Meminang
-Mabeakala
-Mepamit di merajan / sanggah

2. Upacara di rumah pengantin lelaki :
-Mareresik
-Mapiuning di Sanggah Surya
-Upacara suddi-wadhani
-Mabeakala
-Mapadamel
-Metapak oleh kedua orang tua, berterimakasih dan mohon doa restu.
-Mejaya-jaya
-Ngaturang ayaban
-Natab peras sadampati
-Pemuspaan / Sembahyang
-Nunas wangsuhpada / bija

Untuk madelokan (kedua mempelai pulang menjengguk keluarga wanita), biasanya dilaksanakan setelah H+3 Pernikahan





JENIS PERKAWINAN MENURUT SUSASTRA HINDU
Dalam Kitab Suci Hindu: Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
1.      Brahma Wiwaha:
ð  perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
ð  bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita
2.      Dewa Wiwaha:
ð  orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
ð  adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3.      Arsa Wiwaha:
ð  orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
ð  bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
4.      Prajapatya Wiwaha:
ð  perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
ð  bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
5.      Gandharwa wiwaha:
ð  perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
ð  bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
6.      Upacara Pawiwahan Sadampati
ð  Adalah  upacara yang sangat sederhana, biayanya sedikit namun makna yang dikandung sangat tinggi, karena banten (upakara) yang digunakan dalam upacara pawiwahan ini mengandung simbol-simbol yang lengkap. Perkataan Sadampati terdiri dari rangkaian kata-kata: sa-dampa-ti masing-masing kata berarti sebagai berikut: sa = satu; dampa = tempat duduk/ bangku; ti = orang. Keseluruhan berarti: orang-orang yang duduk bersama dalam satu bangku untuk menikah. Acuan upacara ini adalah lontar: Dharma Kauripan.
7.      Asuri Wiwaha
ð  Asuri  wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
8.      Raksasa  wiwaha
ð  adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
9.      Paisaca  wiwaha
ð  adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Nb.
·         madelokan (kedua mempelai pulang menjengguk keluarga wanita, biasanya dilaksanakan setelah H+3 Pernikahan)
·         setiap Desa Adat/Desa Kala Patra di Bali memiliki tata cara upacara perkawinan, tergantung dari kepercayaan masyarakat namun tidak terlepas dari Sastra/Kitab Suci

5.2. TUJUAN WIWAHA MENURUT HINDU
 Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya.
Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan.
Dalam Nitisastra dijelaskan bahwa “ orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1)      Melanjutkan keturunan
2)      Membina rumah tangga
3)      Bermasyarakat
4)      Melaksanakan panca yadnya
·         Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin atau sering disebut dengan keluarga sukhinah. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).


5.3. SYARAT SAH SUATU PAWIWAHAN

 Syarat Sah Suatu Pawiwahan Menurut Hindu
  • System  perkawinan di Indonesia  dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil

Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi;
ð  “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

·         Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
·         sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada  persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:                                                                                              

“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
Terjemahannya:
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana,
 jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya
 cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama”
(Pudja dan Sudharta, 2002: 141).


            Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan  syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1)  Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2)  Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4)   Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña  harus diyakini kebenarannya. Yajña  tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5)   Lascarya artinya suatu yajña  yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6)  Sastra artinya suatu yajña  harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña  disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.

7)   Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8)   Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yajña  hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.


Pawiwahan Yang Dilarang

ð  Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama. Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.

  • Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1)Bertentangan dengan hukum agama
2)Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)ila calon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu.
4)Perkawinan yang masih ada hubungan darah.
5)Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.






5.4 LIMA PILAR KELUARGA SUKHINAH

Dalam menjaga keharmonisan keluarga (Keluarga Sukhinah), ada beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh anggota keluarga antara lain:
1)      Seluruh Anggota keluarga harus memiliki sradha bhakti atau keyakinan yang kuat Kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Sering sembahyang bersama-sama didalam rumah (Merajan/sanggah) maupun dipura-pura. Hal inilah yang utama dapat menumbuhkan rasa bhakti dalam keluarga.
2)      Saling memahami dan mengerti antara pasangan suami dan istri
Antara suami dan istri harus mengetahui tugas dan kewajibannya masing-masing untuk menjadi pasangan yang baik dan ideal antara lain :

Ø  Tugas dan Kewajiban suami

Dalam Atharvaveda XIV.1.52 disebutkan bahwa :

Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih,
mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam”
Terjemahan:
“Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita sepanjang masa”.

Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.

Ø  Tugas dan Kewajiban Istri

Dalam Rgveda X.85.46 disebutkan bahwa :

Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava,
nanandari samraajni bhava, samraajni adhi devrsu”
Terjemahan:
“Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya, dampingilah (dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik) saudara saudari iparmu”.



Dalam Yajurveda XIV.22 disebutkan bahwa:

“Yantri raad yantri asi yamani, dhruvaa asi dharitrii”
Terjemahan:
“Wahai wanita jadilah pengawas keluarga yang cemerlang,
tegakkanlah aturan keluarga, dan jadilah penopang keluarga”.
Dalam Regveda X.85.43 disebutkan bahwa:

“Viirasuup devakaamaa syonaa,
sam no bhava dvipade, sam catuspade”
Terjemahan:
“Wahai wanita, lahirkanlah keturunan yang cerdas, gagah, dan berani, pujalah selalu Hyang Widhi, jadilah insan yang ramah dan menyenangkan kepada semua orang, dan peliharalah dengan baik hewan peliharaan keluarga”.

Seorang istri hendaknya selalu setia kepada suami, rajin dan taat dalam menjalankan puja bhakti kepada Hyang Widhi, melahirkan dan memelihara anak-anak agar cerdas gagah dan berani, selalu menopang keluarga dan menjalankan aturan dengan baik, berbicara dengan lemah lembut kepada semua orang, menghormati keluarga mertua, menjaga dan mengatur harta keluarga, tanaman, dan hewan peliharaan milik keluarga dengan baik. Bila demikian, niscaya keluarganya akan bahagia dan sejahtera selalu.

Om Awignam Astu,
 Sam Jaaspatyam Suyaman Astu Devah
Terjemahan:
Ya Hyang Widhi Semoga Kehidupan Perkawinan Kami Berbahagia dan Tenteran ( Rg Veda X.85-23)

 Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusi yang seutuhnya karena diantara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Semoga ikatan pernikahan kami langgeng, setia dan tidak terpisahkan.
Pahala Bagi Anak-Anak Yang Berbhakti Kepada Orang Tua
Dalam Kitab Taittriya Upanisad dikatakan sebagai berikut :

Pitri Deva Bhava, Matri Deva Bhava
Terjemahan :
Ayah dan Ibu ibarat perwujudan  Dewa dalam keluarga.

Dalam Kitab Sarasamuccaya, disebutkan ada empat pahala bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur, yaitu sebagai berikut :
-          Kirti, “kirti ngaran paleman ring hayu” artinya selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan.
-          Ayusa, “ayusa ngaraning urip” artinya berumur panjang atau dapat dikatakan senantiasa akan selalu dalam keadaan sehat.
-          Bhala, “bhala ngaraning kesakten’ artinya sakti atau kesaktian. Sakti disini ialah dalam arti kita akan menjadi pribadi yang kuat mental / tangguh dalam menjalani hidup.
-          Yasa,  Jasa akan selalu meninggalkan yang baik.  Bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur maka akan meninggalkan jasa-jasa baik kepada keturunannya maupun masyarakat luas.

Dari keempat pahala diatas yang telah disebutkan dapat disimpulkan berbhakti kepada Leluhur adalah suatu hal yang baik. Melaksanakan atau menjalani hal yang baik maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik.

3.      Hidup selalu saling mencintai dan menyangi antar sesama anggota keluarga.
Hidup berkeluarga manjadi pasangan suami istri harus senantiasa saling menyayangi, saling mengasihi, saling perhatian, setia dan jujur terhadap pasangan. Bnayak dimasyarakat keretakan keluarga terjadi dari kurangnya rasa sayang, perhatian dan kesetiaan yang mengakibatkan perselingkuhan, pertengkaran dan akhirnya terjadi perceraian. Hal inilah yang perlu dihindari untuk menjaga kehidupan keluarga yang tentram atau menjadi keluarga sukhinah.
4.      Kepala keluarga harus bisa menanggung kebutuhan materi dan non materi
Seorang kepala keluarga harus mempunyai pegangan pengasilan yang kuat, sehingga mampu membina keluarga tanpa kekurangan papan, sandang dan pangan. Kalau kehidupan ekonomi sudah sejahtera, senantiasa masalah-masalah hidup yang berbayar bisa diatasi, biasanya keretakan hubungan keluarga banyak diawalai dari keadaan ekonomi yang carut marut.
5.      Mampu memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak untuk masa depan keluarga
Masa depan suatu keluarga adalah kelanjutan dari keberhasilan anak-anak atau keturunannya. Untuk menjadi seorang anak yang berhasil dan sukses, tentu didukung dengan pendidikan yang terjamin. Mulai dari kecil hingga hingga menjadi orang yang berguna dan memiliki keluhuran budi dididik dari pendidikan formal maupun non formal sehinga seorang anak menjadi suputra dan dapat membahagiakan keluarga.
“Kesuksesan  anak adalah
mampu membahagiaan Orang tuanya,
dan Kebahagiaan orang tua adalah
 mampu melihat anaknya suskses”



hubungi saya via WA : 085237290333.


EmoticonEmoticon